Jumat, 07 Juni 2013

Di Balik Frekuensi.. " In media we trust "

                                                               “Di balik frekuensi”
Sebuah pertanyaan yang terlintas dibenak apa itu di balik frekuensi ?
Setelah 14 tahun reformasi, pers Indonesia dapat dibeli ?
Di balik frekuensi adalah sebuah film dokumenter, yang disutradarai oleh Ucu Agustin. Diperkaya dengan grafis yang menun jukan konstelasi kuasa media.
Film ini termasuk sebuah film documenter terpanjang yang pernah saya lihat dengan dujrasi 144 menit. Yang didalamnya menayangkan serta menceritakan sebagian dari sebuah kegelisahan media setelah beberapa tahun berjalannya reformasi.

Di dalam film dokumenter ini, mengisahkan bagaimana sih frekuensi dalam publik yang terjadi di pertelevisian Indonesia yang digunakan untuk kepentingan publik di Indonesia. Masalah besarnya adalah sebuah penyalah-gunaan frekuensi publik.
Yang termasuk dalam penyalah-gunaannya adalah kisah yang pertama yang dialami oleh Luviana, seorang jurnalis Metro TV yang terkena PHK dengan perjuangannya supaya dapat kembali bekerja. Mantan karyawan Metro TV ini, Luviana tersevut, tidak lelah dalam melakukan segala upaya untuk dapat memperjuangkan hak – haknya tersebut sebagai karyawan yang di PHK sepihak pleh stasiun televisi Metro Tv. Luviana kemudian juga sempat melakukan pengaduan ke Polda Metro Jaya. Luviana mengadukan terkait upah yang hampir 5 bulan tidak dibayar oleh pihak Metro TV. Hingga kini pun, kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya, penyebab Luviana ini di PHK karena system manajemen yang tidak berpihak kepada pekerja itu yang di pertanyakannya itu dan Luviana juga mengkritisi newsroom yang dilihatnya sudah tidak netral lagi.

Yang kedua, kisah yang menceritakan tentang korban Lumpur Lapindo yakni Hari Suwandi dan Harto Wiyono yang hanya berjalan kaki selama kurang lebih 29 hari dari Porong Sidoarjo, ke Jakarta. Tetapi, aksi protes ini Nampak sangat mengebu – gebu diawalnya saja dan berakhir dengan tayangan langsung Hari Suwandi yang menangis serta meminta maaf ke Aburizal Bakrie di TvOne. Namun demikian penyelesaian masalah yang diakibatkan darinya itu masih menyisakan tanda tanya. Mengingat juga bahwa Aburizal Bakrie merupakan pemilik dari beberapa media besar di Indonesia, hal ini tidak sulit bagi dirinya untuk meredam sebuah isu maupun masalah untuk tetap menghadirkan citra positif baginya.

Di balik frekuensi ini juga lebih mengupas bagaimana sebuah pertelevisian berita dalam memframing kedua kisah tersebut.
Framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkap rahasia di balik sebuah perbedaan bahkan pertentangan media dalam mengungkapkan fakta. Framing ini biasa dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Entman melihat dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek - aspek tertentu dari realitas.
Dalam praktiknya, framing ini dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain dan dengan menonjolkan isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, pemakaian grafis yang mendukung dan memperkuat penonjolan ketika menggambarkan orang yang diberitakan, asosiasi terhadap generalisasi dan simplifikasi. 
Lebih lagi, film dokumenter ini menggugat bagaimana sebuah televisi berita digunakan demi kepentingan pemiliknya, seperti sekarang semakin maraknya di media – media iklan kampanye sebuah partai politik. Seolah – olah dengan sebuah kekuasaan yang mereka miliki, mereka dapat semaunya dalam mendapatkan sebuah citra positif, menjatuhkan politik lain yang dianggap menjadi lawan, dan apa pun dapat mereka lakukan melalui media massa sekarang ini.

Hal ini sudah menjadi “ hal yang biasa “ terjadi di Indonesia, padahal yang seharusnya, yang saya ketahui bahwa seorang pers harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya bagi masyarakat banyak. Dalam kode etik pun tertulis dan dijelaskan bahwa media maupun jurnalis haruslah independen dan tidak memilah – milah berita yang akan dibagikannya ke masyarakat luas.
Terlintas lagi dibenak saya, apakah ini yang disebut sebuah media massa ?
Setiap jaman tak hanya tersimpan kegagalan, tetapi juga catatan tentang keberhasilan. Jaman sekarang ini juga hanya mencatatkan tentang sebuah perlawanan – perlawanan.

Film ini membuat semua yang menonton menjadi berpikiran lebih terbuka, tentang bagaimana sebenarnya keadaan media massa kita sekarang yang penuh dengan rekayasa seorang “ kuasa media “.
Dari film ini, kita juga menjadi tahu yang tidak kita ketahui di media kita sekarang ini. Dan film ini memperkenalkan warna sebenarnya dari media di Indonesia dan bagaimana orang – orang yang memilikinya serta menggunakannya untuk tujuan mereka sendiri.

“ Publik memiliki otoritas untuk menjadi pemilik frekuensi karena kelangkaan saat ini. Frekuensi itu milik publik! In media we trust. Karena tanggung jawab utama media adalah berpihak pada publik.”


Nama : Ricky Alkat Seftiano
Nim : 1002055018