“Di balik frekuensi”
Sebuah pertanyaan yang
terlintas dibenak apa itu di balik frekuensi ?
Setelah 14 tahun
reformasi, pers Indonesia dapat dibeli ?
Di balik frekuensi
adalah sebuah film dokumenter, yang disutradarai oleh Ucu Agustin. Diperkaya dengan
grafis yang menun jukan konstelasi kuasa media.
Film ini termasuk
sebuah film documenter terpanjang yang pernah saya lihat dengan dujrasi 144
menit. Yang didalamnya menayangkan serta menceritakan sebagian dari sebuah
kegelisahan media setelah beberapa tahun berjalannya reformasi.
Di dalam film dokumenter
ini, mengisahkan bagaimana sih frekuensi dalam publik yang terjadi di
pertelevisian Indonesia yang digunakan untuk kepentingan publik di Indonesia. Masalah
besarnya adalah sebuah penyalah-gunaan frekuensi publik.
Yang termasuk dalam
penyalah-gunaannya adalah kisah yang pertama yang dialami oleh Luviana, seorang
jurnalis Metro TV yang terkena PHK dengan perjuangannya supaya dapat kembali
bekerja. Mantan karyawan Metro TV ini, Luviana tersevut, tidak lelah dalam
melakukan segala upaya untuk dapat memperjuangkan hak – haknya tersebut sebagai
karyawan yang di PHK sepihak pleh stasiun televisi Metro Tv. Luviana kemudian
juga sempat melakukan pengaduan ke Polda Metro Jaya. Luviana mengadukan terkait
upah yang hampir 5 bulan tidak dibayar oleh pihak Metro TV. Hingga kini pun,
kasus Luviana masih belum ada penyelesaiannya, penyebab Luviana ini di PHK
karena system manajemen yang tidak berpihak kepada pekerja itu yang di
pertanyakannya itu dan Luviana juga mengkritisi newsroom yang dilihatnya sudah
tidak netral lagi.
Yang kedua, kisah yang
menceritakan tentang korban Lumpur Lapindo yakni Hari Suwandi dan Harto Wiyono
yang hanya berjalan kaki selama kurang lebih 29 hari dari Porong Sidoarjo, ke
Jakarta. Tetapi, aksi protes ini Nampak sangat mengebu – gebu diawalnya saja
dan berakhir dengan tayangan langsung Hari Suwandi yang menangis serta meminta
maaf ke Aburizal Bakrie di TvOne. Namun demikian penyelesaian masalah yang
diakibatkan darinya itu masih menyisakan tanda tanya. Mengingat juga bahwa
Aburizal Bakrie merupakan pemilik dari beberapa media besar di Indonesia, hal
ini tidak sulit bagi dirinya untuk meredam sebuah isu maupun masalah untuk
tetap menghadirkan citra positif baginya.
Di balik frekuensi ini
juga lebih mengupas bagaimana sebuah pertelevisian berita dalam memframing kedua
kisah tersebut.
Framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkap rahasia di balik sebuah perbedaan bahkan pertentangan media dalam mengungkapkan fakta. Framing ini biasa dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Entman melihat dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek - aspek tertentu dari realitas.
Dalam praktiknya, framing ini dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain dan dengan menonjolkan isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, pemakaian grafis yang mendukung dan memperkuat penonjolan ketika menggambarkan orang yang diberitakan, asosiasi terhadap generalisasi dan simplifikasi.
Framing merupakan salah satu alternatif model analisis yang dapat mengungkap rahasia di balik sebuah perbedaan bahkan pertentangan media dalam mengungkapkan fakta. Framing ini biasa dipakai untuk mengetahui bagaimana realitas dibingkai oleh media. Entman melihat dalam dua dimensi besar : seleksi isu dan penekanan atau penonjolan aspek - aspek tertentu dari realitas.
Dalam praktiknya, framing ini dijalankan oleh media dengan menyeleksi isu tertentu dan mengabaikan isu yang lain dan dengan menonjolkan isu tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, pemakaian grafis yang mendukung dan memperkuat penonjolan ketika menggambarkan orang yang diberitakan, asosiasi terhadap generalisasi dan simplifikasi.
Lebih
lagi, film dokumenter ini menggugat bagaimana sebuah televisi berita digunakan
demi kepentingan pemiliknya, seperti sekarang semakin maraknya di media – media
iklan kampanye sebuah partai politik. Seolah – olah dengan sebuah kekuasaan
yang mereka miliki, mereka dapat semaunya dalam mendapatkan sebuah citra
positif, menjatuhkan politik lain yang dianggap menjadi lawan, dan apa pun dapat mereka lakukan melalui media massa sekarang
ini.
Hal ini sudah menjadi “ hal yang
biasa “ terjadi di Indonesia, padahal yang seharusnya, yang saya ketahui bahwa
seorang pers harus bersikap netral dalam menjalankan tugasnya bagi masyarakat
banyak. Dalam kode etik pun tertulis dan dijelaskan bahwa media maupun jurnalis
haruslah independen dan tidak memilah – milah berita yang akan dibagikannya ke
masyarakat luas.
Terlintas
lagi dibenak saya, apakah ini yang disebut sebuah media massa ?
Setiap
jaman tak hanya tersimpan kegagalan, tetapi juga catatan tentang keberhasilan. Jaman
sekarang ini juga hanya mencatatkan tentang sebuah perlawanan – perlawanan.
Film
ini membuat semua yang menonton menjadi berpikiran lebih terbuka, tentang bagaimana
sebenarnya keadaan media massa kita sekarang yang penuh dengan rekayasa seorang
“ kuasa media “.
Dari
film ini, kita juga menjadi tahu yang tidak kita ketahui di media kita sekarang ini.
Dan film ini memperkenalkan warna sebenarnya dari media di Indonesia dan
bagaimana orang – orang yang memilikinya serta menggunakannya untuk tujuan
mereka sendiri.
“
Publik memiliki otoritas untuk menjadi pemilik frekuensi karena kelangkaan saat
ini. Frekuensi itu milik publik! In media we trust. Karena tanggung jawab
utama media adalah berpihak pada publik.”
Nama : Ricky Alkat Seftiano
Nim : 1002055018